HUSBAND OF MARRY, FATHER OF JESUS CHRIST

0 Shares
0
0
0

Baca : Matius 2 & Lukas 2 

Membaca dan merenungkan Lukas 1 & 2, muncul dalam pikiran saya, “bagaimana dengan Yusuf?”. I am very curious about Joseph.

Nama Yusuf, suami Maria, dan ayah Tuhan Yesus, hanya dicatat dalam dua kitab Injil, yaitu Matius dan Lukas. Kisah Yusuf, ayah Yesus, tidak ditemukan dalam kitab-kitab Injil lainnya. Kitab Matius, yang ditulis oleh Matius pemungut cukai, menegaskan peran Yusuf dalam hubungan hukum dan garis keturunan dari Raja Daud. Sementara itu, dalam kitab Lukas yang ditulis oleh Dokter Lukas, menekankan peran sebagai ayah.

Kedua kitab, Matius dan Lukas, memulai kisah Yusuf dan Maria dalam situasi yang sudah bertunangan. Dalam budaya pernikahan orang Yahudi, prosesnya dibagi menjadi tiga tahap:

  1. Kedua keluarga setuju untuk mengadakan ikatan pernikahan.
  2. Kedua keluarga mengumumkan secara terbuka bahwa anak mereka sudah bertunangan. Pasangan ini tidak dapat diceraikan, kecuali melalui kematian atau perceraian, dan hubungan seksual tidak diperbolehkan selama tahap ini.
  3. Kedua keluarga merayakan upacara pernikahan itu sendiri.

Merujuk pada kisah Yusuf dan Maria, mereka berada pada tahap kedua proses pernikahan. Saya yakin, ketika Maria curhat apa yang dialaminya, Yusuf bingung dan shock. Itu sebabnya dalam kisah itu, malaikat Tuhan hadir dalam mimpinya (Matius 1:20). Malaikat adalah makhluk roh yang membantu pekerjaan Tuhan di bumi, mereka hadir untuk menyampaikan pesan, menolong umat Tuhan, memberikan penghiburan, memberikan kekuatan dll. (Hmm.. sepertinya menarik mengali lebih banyak tentang malaikat:)

Kembali kepada kisah Yusuf, bayangkan, anda seorang pria yang bertunangan dengan seorang wanita. Tiba-tiba wanita yang anda cintai berkata hamil tapi hamilnya dari Roh Kudus. Apa sih yang muncul dalam benak anda? Yes, Alkitab katakan Yusuf adalah orang yang taat beragama namun Yusuf juga manusia yang memiliki pikiran dan perasaan. Saya membayangkan jika saya jadi Yusuf, kepala saya jadi pening.

Beberapa pelajaran penting yang bisa kita ambil dari kisah hidup Yusuf:

  1. Yusuf mau mengambil tanggung jawab

Yusuf dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit, antara melaporkan Maria yang akan mengakibatkan hukuman rajam batu, atau menceraikan Maria secara diam-diam. Yusuf memutuskan untuk menceraikan Maria secara diam-diam.

Matius 1 : 19 Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam.

Kata “bermaksud” dalam bahasa Yunani adalah βούλομαι, yang dalam bahasa Inggris berarti “of willing as an affection, to desire,” atau dengan kata sederhana, “saya mau.”

Dalam ilmu terapi, konseling dan coaching. Kata “mau” itu berbeda dengan kata “harus”. Seorang klien yang berkata “saya harus mencintai istri saya” itu berbeda dengan “saya mau mencintai istri saya”. 

Jika Yusuf berkata, “Saya mau mengambil tanggung jawab akan apa yang terjadi,” ini menunjukkan sebuah kekuatan ketulusan tanpa paksaan. Yusuf yang sudah bertunangan dengan Maria tidak hanya mengambil Maria secara fisik saja, namun dia juga menerima Maria dengan masalahnya. Yusuf tidak menyalahkan Maria. Yusuf juga tidak menyalahkan Tuhan. Yusuf siap apapun yang terjadi di depannya, dia mau mengambil tanggung jawab.

As a therapist & coach, saya menemukan keberhasilan seorang klien dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dalam hidupnya terletak kepada kemauan dan kemampuannya mengambil tanggung jawab. Yang menyedihkan adalah banyak orang Kristen yang menyerahkan tanggung jawab yang seharusnya dia lakukan, dia serahkan kepada Tuhan dan gereja (komunitasnya).

2. Yusuf tidak tinggal dalam masalah

Banyak klien yang datang dan menjelaskan masalah yang sebenarnya bukan inti permasalahannya. Misalnya, ada klien yang mengatakan, “saya punya masalah dengan berat badan saya,” tetapi setelah dilakukan pengalian lebih lanjut, inti permasalahannya adalah dia cenderung menggunakan makanan sebagai pelarian dari masalah emosionalnya, yang dikenal sebagai “emotional eating.”

Banyak dari kita menderita akan suatu masalah yang sebenarnya bukan inti permasalahannya. Jika kita sudah memahami inti permasalahannya, selanjutnya, sudahkah kita paham bagaimana mengatasinya?

Yusuf paham apa masalahnya dan dia tahu menyelesaikan masalahnya. Yusuf tidak menghabiskan energinya, baper atas masalahnya. Dia fokus memikirkan apa yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan masalahnya.

Terlalu sering, kita terperangkap dalam pusaran masalah, menghabiskan energi kita dengan pertanyaan, “Mengapa?” berulang kali, hingga kita menjadi sangat emosional dan menguras sebagian besar energi kita.

3. Yusuf hatinya tulus

Alkitab mencatat Yusuf memiliki hati yang tulus dan dia tidak ingin mempermalukan istrinya. Kata “tulus” dapat diartikan sebagai “Keputusan untuk berpikir dan merasa dengan cara memahami kehendak Tuhan.”

Orang tulus bukan hanya sekedar baik hati, tetapi mereka memahami kebenaran berdasarkan kehendak Tuhan. Yang saya dapatkan, orang tulus ini adalah orang yang mau berserah kepada Tuhan, menikmati hal-hal sederhana yang mungkin terlihat kecil di mata dunia, namun mereka tetap setia.

Yusuf berangkat dengan hati yang tulus dan memiliki tujuan untuk tidak mempermalukan calon istrinya. Ketulusan Yusuf menggerakan Tuhan membantu dirinya dalam menghadapi gelombang misteri yang dia sendiri sulit memahami. Tuhan mengirimkan malaikatnya.

Banyak dari kita, saat mendapatkan masalah atau tantangan, mencari jalan pintas agar kita selamat dan mengorbankan orang lain. Diam-diam, hati kita penuh dengan kelicikan dan kejahatan untuk menyalahkan dan menjatuhkan orang lain. Kondisi ini, tanpa kita sadari, sering kali menjadi coping mechanism untuk membuat kita terbebas dari rasa ketakutan, sakit, kekecewaan, dll.

Tentu saja, kita bisa berdoa untuk meminta bantuan Roh Kudus mengungkapkan sesuatu, namun jika kita tidak aware akan cara kita berpikir, kita juga akan terjebak dengan “toping-toping rohani.”

4. Yusuf berani

Matius 1:24 Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya,

Tindakan Yusuf ini sangat memberikan inspirasi dan pelajaran penting buat saya. Kalimat “Ia mengambil Maria sebagai istrinya” bukanlah sekedar tindakan menyerahkan diri dalam rencana Allah namun juga kekuatan Yusuf sebagai pria.

Let me put this way, Dalam situasi tersebut, Maria menghadapi tantangan yang tidak mudah. Banyak pikiran yang muncul dalam benaknya, dan dia merasakan berbagai gejolak emosi. Mungkin dia berpikir, “Bagaimana jika saya menceritakan ini kepada Yusuf? Bagaimana jika Yusuf menolak dan meninggalkan saya?” Kondisi Maria saat itu sangat rapuh, dan satu-satunya orang yang bisa dia curahkan isi hatinya secara pribadi adalah Yusuf, tunangannya, meskipun berbicara kepada Yusuf bisa menimbulkan masalah lain.

Matius 1:24 mencatat, “Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai isterinya.”

Tindakan Yusuf ini sangat memberikan inspirasi dan pelajaran penting buat saya. Kalimat “Ia mengambil Maria sebagai istrinya” bukanlah sekedar tindakan menyerahkan diri dalam rencana Allah, namun juga kekuatan Yusuf sebagai pria.

Let me put this way, Dalam situasi tersebut, Maria menghadapi tantangan yang tidak mudah. Banyak pikiran yang muncul dalam benaknya, dan dia merasakan berbagai gejolak emosi. Mungkin dia berpikir, “Bagaimana jika saya menceritakan ini kepada Yusuf? Bagaimana jika Yusuf menolak dan meninggalkan saya?” Kondisi Maria saat itu sangat rapuh, dan satu-satunya orang yang bisa dia curahkan isi hatinya secara pribadi adalah Yusuf, tunangannya, meskipun berbicara kepada Yusuf bisa menimbulkan masalah lain.

Banyak pria tidak seperti Yusuf, mereka boleh tampil sangar, macho, dan kuat, namun faktanya mereka bukan pria yang berani. Mereka mungkin berkata “I love you” kepada pasangannya, namun mereka tidak mau menghadapi masalah, pergumulan, dan kelemahan pasangannya.

Pria-pria ini mungkin berkata, “I want to marry you,” tetapi mereka tidak mau “satu hati” dengan tekanan dan segala pikiran-perasaan pasangannya yang berbeda. Pria ini yang katanya mencintai pasangannya, menjadi begitu alergi dengan cara pandang, cara makan, cara mandi, dll. Bukan berarti sebagai pasangan kita tidak boleh menasehati, namun sering kali kita ingin memaksakan agar pasangan kita menjadi seperti kita. Ini adalah akar dari sebuah perpecahan!

Buat anak dewasa muda, ketika kamu mau menikahi seseorang, kamu tidak hanya menikahi dirinya (fisiknya) tetapi segala sesuatu yang berhubungan dengan dirinya, termasuk masalahnya dan berbagai hal yang sifatnya “dark.” Beranikah?

Bagi teman yang sudah menikah, apakah kita berani berproses dalam segala ketidaknyamanan kita dan belajar untuk menerima pasangan kita, segala hal bahkan hal yang paling “konyol” sekalipun menurut kita?

Menurut saya, jika seseorang menikah dan dia tidak bertumbuh dalam potensi yang diberikan Tuhan, ada sesuatu yang salah disana. Beranikah kita sebagai pria memberikan waktu dan ruang buat pasangan kita untuk bertumbuh dan berbuah? Beranikah kita sebagai istri memberikan kesempatan bagi pasangan kita untuk belajar menjadi seorang pria yang sejati?

Pertanyaan untuk direnungkan:

  1. Sebagai suami dan ayah, sebagai istri dan ibu, hal apa yang kita takutkan dari diri kita (mungkin luka masa lalu, peristiwa atau pengalaman buruk, dll) yang kita sembunyikan? Kita takut dan sangat sensitif saat masuk ke area itu?
  2. Jika kita merindukan sebuah breakthrough dalam performa kita sebagai ayah, suami, istri, dan ibu, hal apa yang perlu kita pelajari? Sikap apa yang perlu kita latih? Dan keterampilan apa yang perlu kita pertajam?
  3. Mimpi atau cita-cita apa yang kita perlu miliki sebagai pasangan suami dan istri? Pernahkah kita membuatnya bersama, duduk bareng, dan berdiskusi akan itu?

 

0 Shares
Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You May Also Like

SERUNYA MENJADI DEWASA

Kedewasaan Kedewasaan adalah konsep yang kompleks dan seringkali sulit untuk diartikan secara pasti karena mencakup berbagai aspek rohani,…

DUA MACAM DASAR

Lukas 6:46 - "Mengapa kamu berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan, padahal kamutidak melakukan apa yang Aku katakan?" Boleh saja…

Dari Kecil Hingga Besar

DARI KECIL HINGGA BESAR Kesetiaan bukanlah sekedar kata, melainkan sebuah keberanian untuk komitmen dan konsistensi. Kesetiaan di zaman…

WHY DO YOU NEED A MENTOR?

Tiga Proses Mentoring 1. Dependence with Mentors (Bergantung pada Mentor) Belajar Dekat dengan Mentor Keluaran 24:13 - "Lalu berangkatlah…